Membaca "JdMNdH", Membaca Lukisan "Tanpa Celana"

 


Saat menulis catatan ini, Born to Die—Lana Del Rey masih mengalun. Saya sukses membaca JdMNdH untuk ke-2 kalinya. Pertama, di depan orang yang saya sayangi serta entahlah kenapa saya berasa benar-benar mengucapkan syukur selesai membacanya sambil mengumpat dalam hati, "Aihhh, mataku melihat dua keajaiban ini hari!". Serta ke-2, di depan "Lelaku"—kumpulan cerpen Alfin Rizal terbitan tahun 2016 yang baru saya baca pada permulaan Maret 2017. Saya membuka lagi serta tidak bisa disangkal jika tiap buku bawa kenangannya semasing.

Panduan Mendaftar Member Slot Online

"Buku, memang sering jadi rumah lain buat kenanganku bersama-sama seorang"—seketika dihajar haru saat membaca kalimat ini sebelum mengubah halaman selanjutnya serta saya jumpai pengakuan, "Cinta itu selanjutnya akan jadi fakta buat manusia sepertiku untuk tentukan satu pilihan penting dalam kehidupan: berupaya meneruskan atau menghentikannya. Menjaga atau membunuhnya."—Dan terima kasih atas ketetapan untuk masih pilih yang pertama.


Dua buku bersampul ciamik yang dibuat oleh sekaligus juga penulis, berkesan memberikan 'nyawa ganda' karena sampul—bagi saya—berperan mengantar narasi sebelum buka lembar pertama: untuk kamu: yang nekat dalam menyukai.


Alfin tetap dapat berhubungan dengan pembacanya seumpama lewat selembar surat yang disembunyikan di tengahnya buku, atau seperti pada sehujan puisinya "Berkunjung ke Hujan yang Berlindung di Matamu". Pada halaman penutup, dia membius pembaca untuk meneruskan sajaknya dengan ajakan yang manis: "Tidak harus saat ini. Mungkin kau perlu menanti hujan turun—karena ini mengenai kita serta hujan—atau... Kapanpun kau ingin. Catat saja!" Surat kita, mungkin menyunting hal sama, "Satu hari, kabari saya jika kau punyai peluang mengeluarkan ceritamu." Untuk pembaca, saya senang langkah penulis menegur pembacanya selain hidupkan motivasi menulis semakin membara.


Pernyataan seorang yang sempat kudengar mungkin betul, hidup ialah lentera serta sumbunya ialah cinta. "Jauh di Mata Nekat di Hati" ialah usaha Alfin Rizal menghidupkan cinta. Dapat dibuktikan, tiga bab pertama diceritakan mengenai bagaimana cinta kerja: "Saat saya merasai cinta, tidak ada perasaan yang kubanggakan kecuali bagaimana saya dapat memuat semua yang berada di muka bumi"—meski di depan masa lalu, "Saya berasa banyak kehilangan walau tidak paham tentu apakah yang sebetulnya kumiliki."


Paparnya lagi, "Cinta sudah betul-betul gerakkan segalanya dalam diriku. Segala hal. Yang sebelumnya anteng, diam, serta hampir mati terbunuh waktu, sekarang sudah beralih. Naik-turun. Serta saya dapat pastikan tidak ada satu sel juga dalam diriku yang mati. Semua kerja aktif" (hlm 101). Cukup memberikan simpul "nekat di hati" untuk satu keberanian mencintai—meski sebenarnya, cinta seringkali menyuguhkan narasi yang kadang susah kita terima.


Serta yang kita perlukan ialah kerasan dalam segala; termasuk juga cinta. Masih menyinggung cinta—mendapati bait cinta Sitok Srengege menempati halaman 19 buku ini, malah memperingatkan saya dengan Syair Cinta-nya Jalaluddin Rumi:

Postingan populer dari blog ini

Ethiopia is actually frequently depicted as a distinct situation

Relocating retirees want lower costs of living and better lifestyles. Moving abroad may be the answer

Reverend Arthur Dimmesdale